Senin, 13 Oktober 2014

BALADA AMPLOP



BALADA AMPLOP

“Kondangan” pada masyarakat saya merupakan suatu aktivitas-ekspresi sukacita ibu-ibu rumah tangga terhadap pernikahan atau khitanan orang lain yang biasanya disertai dengan memberikan sumbangan dalam bentuk sembako -- yang biasanya dibungkus dengan kardus dan taplak meja – dan uang yang dimasukkan ke dalam amplop sebelum atau ketika resepsi. Sekilas info saja, membicarakan amplop ini ada beberapa gaya “nyumbang” di masyarakat saya. Ada yang dengan menuliskan namanya di amplop agar diketahui siapa penyumbangnya, ada yang bahkan mencetak sendiri amplopnya sehingga terlihat ekslusif, ada yang tidak diberi identitas sama sekali. Bagaimana dengan di tempat teman-teman?

Beberapa waktu lalu saya “kondangan” ke rumah tetangga. Sejatinya yang memiliki kewajiban sosial untuk “kondangan” ibu saya -- karena saya belum ber-rumah tangga --, tapi karena ibu saya tidak di rumah maka sayalah yang harus menggantikan ibu pergi “kondangan”. Untuk itu, ibu saya telah meninggali saya uang untuk “nyumbang” alias “ngamplop.”
Malam “kondangan” tiba. Saya memasukkan dua buah amplop ke dompet saya. Satu untuk saya sudah berisi uang, dan yang satunya lagi untuk mbah saya. Karena kami rencananya “kondangan” bersama, barangkali mbah belum punya amplop – atau daripada mbah saya kebingungan mencari amplop sisa yang masih bisa dipakai --, maka saya membawanya. Dan ternyata, mbah saya sudah punya amplop. Artinya, satu amplop saya yang kosong belum terpakai masih tetap di dalam dompet.

Sesampainya di rumah walimatul ‘ursy, seperti biasa para tamu disalami satu per satu dengan resepsionis (penerima tamu). Pada saat itu juga biasanya yang membawa sumbangan dalam bentuk sembako diberikan tuan rumah, kemudian tuan rumah menerima sumbangan dan mencatat nama penyumbangnya untuk dikirimi nasi berkat keesokan harinya. Bagaimana pula di daerah teman-teman dalam hal ini?

Setelah disalami, para tamu dipersilakan menikmati jamuan makanan (meal) dan minuman. Pada saat itu tuan rumah (atau wakilnya) akan kalang kabut menemui para tamu karena – setidaknya – mereka harus saling mengobrol ringan tentang makanan atau acara tersebut. Beberapa menit kemudian, tamu dipersilakan makan besar secara “prasmanan” (swalayan) oleh tuan rumah. Nah, sebelum berpindah dari ruang jamuan makan-minum ke ruang makan besar, bagi yang menyumbang dalam bentuk uang maka tibalah saatnya untuk memberikan amplop mereka kepada tuan rumah. 

Deg!

Saya sempat gugup.

Amplop sebelah mana yang harus saya berikan ke tuan rumah? Yang di sebelah kanan-kah? Yang di sebelah kiri-kah? Bagaimana jika saya salah ambil amplop yang tidak ada uangnya? Bagaimana jika tuan rumah membuka amplop saya “ndilalahe” kosong tidak ada lembaran uang sumbangan? Waduh.. 

Saya menggigit bibir bingung tidak karuan. Bagaimana tanggapan tuan rumah nanti? Bagaimana jika saya menjadi bahan perbincangan orang-orang karena kekonyolan yang saya perbuat?

Gusti Allah.. saya gugup. 

Bismillah, saya mantapkan mengambil amplop sebelah kanan. Nanti setelah sampai di rumah segera saya cek. Jika ternyata saya salah ambil, saya akan kembali ke tuan rumah, menemui langsung dan memberikan amplop yang ada uangnya sambil minta maaf dengan muka memelas-mempolos-poloskan diri. Ehe. Kalau perlu, on the way ke TKP sambil koprol, garuk-garuk tembok, plus dibuat gerakan slow motion. :3

Setibanya di rumah, YES! Saya tidak perlu koprol dan garuk-garuk tembok kok! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar