BALADA
AMPLOP
“Kondangan”
pada masyarakat saya merupakan suatu aktivitas-ekspresi sukacita ibu-ibu rumah
tangga terhadap pernikahan atau khitanan orang lain yang biasanya disertai
dengan memberikan sumbangan dalam bentuk sembako -- yang biasanya dibungkus
dengan kardus dan taplak meja – dan uang yang dimasukkan ke dalam amplop
sebelum atau ketika resepsi. Sekilas info saja, membicarakan amplop ini ada
beberapa gaya “nyumbang” di masyarakat saya. Ada yang dengan menuliskan namanya
di amplop agar diketahui siapa penyumbangnya, ada yang bahkan mencetak sendiri
amplopnya sehingga terlihat ekslusif, ada yang tidak diberi identitas sama
sekali. Bagaimana dengan di tempat teman-teman?
Beberapa
waktu lalu saya “kondangan” ke rumah tetangga. Sejatinya yang memiliki kewajiban
sosial untuk “kondangan” ibu saya -- karena saya belum ber-rumah tangga --,
tapi karena ibu saya tidak di rumah maka sayalah yang harus menggantikan ibu
pergi “kondangan”. Untuk itu, ibu saya telah meninggali saya uang untuk
“nyumbang” alias “ngamplop.”
Malam
“kondangan” tiba. Saya memasukkan dua buah amplop ke dompet saya. Satu untuk
saya sudah berisi uang, dan yang satunya lagi untuk mbah saya. Karena kami
rencananya “kondangan” bersama, barangkali mbah belum punya amplop – atau
daripada mbah saya kebingungan mencari amplop sisa yang masih bisa dipakai --,
maka saya membawanya. Dan ternyata, mbah saya sudah punya amplop. Artinya, satu
amplop saya yang kosong belum terpakai masih tetap di dalam dompet.
Sesampainya
di rumah walimatul ‘ursy, seperti biasa para tamu disalami satu per satu dengan
resepsionis (penerima tamu). Pada saat itu juga biasanya yang membawa sumbangan
dalam bentuk sembako diberikan tuan rumah, kemudian tuan rumah menerima
sumbangan dan mencatat nama penyumbangnya untuk dikirimi nasi berkat keesokan
harinya. Bagaimana pula di daerah teman-teman dalam hal ini?
Setelah
disalami, para tamu dipersilakan menikmati jamuan makanan (meal) dan minuman.
Pada saat itu tuan rumah (atau wakilnya) akan kalang kabut menemui para tamu
karena – setidaknya – mereka harus saling mengobrol ringan tentang makanan atau
acara tersebut. Beberapa menit kemudian, tamu dipersilakan makan besar secara
“prasmanan” (swalayan) oleh tuan rumah. Nah, sebelum berpindah dari ruang
jamuan makan-minum ke ruang makan besar, bagi yang menyumbang dalam bentuk uang
maka tibalah saatnya untuk memberikan amplop mereka kepada tuan rumah.
Deg!
Saya
sempat gugup.
Amplop
sebelah mana yang harus saya berikan ke tuan rumah? Yang di sebelah kanan-kah?
Yang di sebelah kiri-kah? Bagaimana jika saya salah ambil amplop yang tidak ada
uangnya? Bagaimana jika tuan rumah membuka amplop saya “ndilalahe” kosong tidak
ada lembaran uang sumbangan? Waduh..
Saya
menggigit bibir bingung tidak karuan. Bagaimana tanggapan tuan rumah nanti?
Bagaimana jika saya menjadi bahan perbincangan orang-orang karena kekonyolan
yang saya perbuat?
Gusti
Allah.. saya gugup.
Bismillah,
saya mantapkan mengambil amplop sebelah kanan. Nanti setelah sampai di rumah
segera saya cek. Jika ternyata saya salah ambil, saya akan kembali ke tuan
rumah, menemui langsung dan memberikan amplop yang ada uangnya sambil minta
maaf dengan muka memelas-mempolos-poloskan diri. Ehe. Kalau perlu, on the way
ke TKP sambil koprol, garuk-garuk tembok, plus dibuat gerakan slow motion. :3
Setibanya
di rumah, YES! Saya tidak perlu koprol dan garuk-garuk tembok kok! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar