Rabu, 15 Oktober 2014

MONSTER



“KAMU MONSTER!”, serumu padaku kala itu. Bibirku tak kugerakkan. Seperti ada lem super bak Castol, UHU, lem kayu, hingga lem sepatu. Iya. Mengesol bibir jontorku. Ingin rasanya aku jitak kepalamu. Cantik-cantik begini kok dibilang monster. Belum pernah melihat Nyai Roro Kidul-kah? Cantik dia.
“Terkadang kamu itu seperti anjing yang setia kepada majikannya. Tapi sekarang kamu speerti singa. Nih, tak kasih daging!”, lanjutmu menyeringai di balik wajahmu yang tertekuk-tekuk alias mekso. Kugigit dagingnya. Habis ya?
“Dasar serakah.”
“Ghhhoooooeeeeeeekkkk....” Aku bersendawa. Enak sekali.
“Mau berubah jadi apa lagi kamu?”, katam.
Glek.
Krek.
Kretek.. Kretek..
“Aku  mau jadi abu, biar bisa terhempas angin ketika tidak ada yang memanfaatkan aku”.
“Jangan jadi abu! Abu itu panas.” Ah, kamu masih peduli.
“Kalau begitu, aku ingin menjadi debu saja. Biar kecil, biar aku kecil, mudah terbang terbawa oleh asap yang membumbung tinggi ke angkasa.”
“Jangan jadi debu. Kotor!” Dan kamu masih peduli.
“Jika begitu, aku ingin menjadi udara. Biar bisa dirasakan, tapi tak bisa disaksikan.”

Gunungpati, Risa Kost, 3 Juni 2012

Selasa, 14 Oktober 2014

R.I.P BU MARYANI (PONPES WARIA AL-FATTAH YOGYAKARTA)

IN MEMORIAM
REST IN PEACE

Bu Maryani
Lahir : 10 Agustus 1960
Wafat : 22 Maret 2014






Tahun 2010, setelah lulus dari madrasah aliyah dan mendekati masa-masa kuliah, saya membaca buku -- dari koleksi Uti Malihah -- karya Mbak Shuniyya Ruhama tahun 2004 yang berjudul “Jangan Lepas Jilbabku!”. Saya membaca dengan mata terbelalak dan rasa tidak percaya. Yang saya tahu, waria itu erat dengan kehidupan malam. Tapi tulisan Mbak Shuniy membantahkan pandangan saya saat itu juga. Ternyata waria juga ada yang bisa lulus cumlaude dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia! Salut dengan Mbak Shuniyya! Beberapa tulisan dari Mbak Shuniyya sangat memukau perhatian saya. Mbak Shuniy begitu lincah mengutip teks agama yang mendukung eksistensi dirinya sebagai seorang waria di tengah-tengah diksi penulisannya yang menurut saya “waria banget”. Saya yang perempuan asli, justru belajar dari Mbak Shuniyya. Jika pertama saya melihat waria mengucapkan : MASYAALLAH, maka sekarang saya melihat Mbak Shuniyya saya lontarkan : SUBHANALLAH, Maha Besar Allah yang memang berkuasa menciptakan makhluk seperti Mbak Shuniyy (ini sedikit mengutip tulisan Mbak Shuniyy). 
Seiring waktu, pemahaman saya terhadap kaum waria hilang ditelan aktivitas kampus.
Berlanjut pada tahun 2011, pertama kali saya melihat almarhumah Bu Maryani yaitu di sebuah stasiun televisi swasta yang sedang menayangkan liputan pondok pesantren waria Al-Fattah. Kembali mata saya terbelalak lebar sampai-sampai ketika iklan pun saya tetap menatap layar kaca. Sejak saat itu saya tertarik dengan keberadaan pondok pesantren waria yang menurut saya saat itu terdengar tidak mungkin dalam agama Islam – saya katakan pemahaman saya terhadap kaum waria hilang tertelan akivitas kampus -- Setahu saya, waria dalam agama Islam merupakan kondisi yang tidak wajar. Saya -- yang pada waktu itu masih mendasarkan pemahaman saya pada kasus kaum Nabi Luth, hadits Nabi yang melarang laki-laki menyerupai perempuan dan sebaliknya, dan firman Allah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan -- melihat ada pondok pesantren waria, jadi berpikir mengapa ada institusi yang melembagakan kondisi yang sulit dibenarkan dalam Islam tersebut? Parahnya, institusi tersebut merupakan lembaga pendidikan agama Islam itu sendiri! (Yaitu dalam hal ini adalah pondok pesantren waria).
Berangkat dari pikiran yang penuh dengan tanda tanya mengenai sepak terjang pondok pesantren waria akan keberadaannya, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke lokasi di Yogyakarta, dimana saya bisa melihat langsung keberadaan pondok pesantren tersebut. Pertama kali ke lokasi  saya sedikit disusahkan dengan mencari alamat. Terima kasih Dafib Effendy sudah menemani saya mencarikan alamat pondok pesantren waria. Tiba di lokasi, saya disambut almarhumah dengan sangat ramah. Saya masih ingat bagaimana almarhumah menyempatkan menemui saya di tengah-tengah kunjungan studi lapangan dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Maka, terjadilah perbincangan kecil antara saya dengan almarhumah. Dari perbincangan tersebut saya membawa sekelumit data. Dengan berbekal data itulah saya mengajukan proposal skripsi. Syukurlah -- dalam pikiran akademis saya -- saya diberuntungkan dengan kondisi jurusan dan tim dosen yang menerima proposal skripsi saya. Terima kasih untuk tim dosen dari Sosiologi Dan Antropologi Unnes .
Setelah mendapatkan dosen pembimbing skripsi, saya mulai menyusun rancangan penelitian termasuk membenahi proposal. Dosen pembimbing skripsi saya, Pak Moh Yasir Alimi, Ph.D. – yang merupakan ahli studi gender dan agama --  telah berulang kali memberikan wejangan kepada saya untuk nanti setibanya di lokasi penelitian saya harus mendengarkan kata-kata mereka dengan penuh empati dan melihat sesuatu dari kacamata mereka. Pak Yasir pun meminta saya untuk membaca buku karyanya yang berjudul “Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama”. Waktu itu saya sudah mulai bisa lagi memahami waria, namun baru sejengkal saja. Seandainya saya ditanya, mengapa waria perlu diperjuangkan, saya belum bisa menjawab. Apalagi waktu itu saya belum membaca buku Pak Yasir dan belum bertemu dengan orang-orang hebat.
Masa penelitian untuk skripsi telah tiba. Oleh almarhumah, saya dipersilakan untuk tinggal di sana. Saya bersama anak almarhumah, Kiki Aryani tidur satu kamar. Saya masih ingat, waktu itu almarhumah mencarikan saya nasi gudeg untuk sarapan. Saya jadi tidak enak sendiri karena di rumah sebetulnya juga menanak nasi. Ketika saya mencuci piring, almarhumah juga sempat menegur saya. 
Penelitian hari-hari pertama membuat saya merasa tidak nyaman karena saya merasa hidup di lingkungan yang baru. Selanjutnya, setelah mengalami masa adaptasi yang cukup, saya benar-benar menikmati masa penelitian saya. Almarhumah mengajak saya mengikuti berbagai aktivitasnya. Ya, saya jadi tahu bagaimana kehidupannya-kesehariannya. Saya mengetahui bagaimana kesulitan hidupnya, bagaimana banyak urusannya, bagaimana rumit amanahnya, bagaimana hebat perjuangan hidupnya di jalan Tuhan.
Semasa penelitian, saya mengenal teman-teman seperjuangan almarhumah dan bergaul baik dengan tetangganya serta orang-orang di sekitar almarhumah. Terima kasih Kiki-Kikul sayang, Kak Cece’ yang katanya mau nyoblos yang ganteng aja, Mbok Sri yang memasakkan saya sambal dan tempe, Mas Rahmat yang membantu menata bawaan saya, Agustin yang menjadi teman malam saya, Pakde Nuke yang banyak menasehati saya di sana, Pak Murtijo yang menegaskan lagi kepada saya bagaimana waria, Bu Shintayang menerangkan kepada saya apa arti jatuh cinta, Mbak YS yang pengen sekolah lagi, Mbak Novi yang membuat saya berulang kali tertawa lebar ketika ngobrol, Mbak Wulan yang mengajarkan saya arti kerasnya hidup, Mbak Hanna yang super banyol, Bude Anik yang mengatakan almarhumah tidak ingin menjadi orang kaya, Mbak Im yang seringkali membela keadaan almarhumah, Bu Anita yang memberikan saya kesempatan saya mewakili alamrhumah dalam resepsi pernikahan putranya, Mbak Win, dan lain-lain masih banyak sekali.
Ada yang bilang, salah satu dari orang yang saya kenal baik di sana positif ODHA. Saya tidak peduli ketika banyak orang mengatakan ketika kita bergaul dengan ODHA maka kita akan tertular. Saya yakin saya akan baik-baik saja selama saya tidak melakukan perbuatan yang rentan menularkan virus HIV-AIDS. God bless me!
Ketika penelitian, oleh Pak Yasir saya direkomendasikan untuk menemui Pak Jeki . Setelah melalui perbincangan yang sangat lama di kantor PKBI Surokarsan, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang waria terutama dalam konteks agama. Dari penjelasan Pak Jeki-lah pertama kali saya mendengar istilah “ghairi li al-irbati min ar-rijaali”. Saya mulai memahami dengan sungguh-sungguh sekalipun belum merasa jelas lebih rincinya seperti apa. Saya juga bisa memahami mengapa PKBI – yang merupakan singkatan dari Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia – memiliki campur tangan yang luar biasa terhadap kaum waria. Terima kasih Pak Maesur Zaky.
Selesai masa penelitian, saya pulang dengan membawa banyak pengetahuan dan pengalaman. Saya tidak menyangka selama penelitian saya bisa benar-benar menyelami kehidupan almarhumah. Saya merasa beruntung dan berterima kasih karena saya merupakan satu-satunya mahasiswa yang diterima untuk riset di sana dalam jangka waktu yang cukup lama, sementara berulang kali mahasiswa berdatangan dan almarhumah enggan menemui karena sakit.
Sekembalinya ke Semarang, saya baru mendapatkan buku Pak Yasir. Sebagai buku cetakan tahun 2004, saya susah mencari bukunya di toko buku penerbitnya sekalipun. Membaca buku Pak Yasir, saya juga terbelalak – sama dengan kekagetan Pak Jeki – karena tulisan dosen pembimbing skripsi saya sendiri luar biasa. Batin saya, pantas saja Pak Yasir meminta saya membaca bukunya karena bukunya menceritakan konteks waria dalam kehidupan agama dan berbangsa! Sejak membaca buku Pak Yasir-lah, pemahaman saya atas kaum waria semakin kuat – meskipun tidak sekuat para ahli gender --, dan saya berterima kasih kepada Pak Yasir yang telah membukakan jalan untuk saya memahami mereka. Dari bukunya-lah saya mengetahui dengan jelas bahwa Al-Qur’an ( 24:31 ) mengenal jenis laki-laki yang tidak memiliki kemampuan laki-laki atau yang disebut dengan istilah “ghairi li al-irbati min ar-rijaali”. Mendasarkan pada Al-Qur’an, Faris Malik diterangkan oleh Pak Yasir menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an secara eksplisit juga diakui adanya keragaman orientasi seksual dan gender, termasuk seseorang yang bukan laki-laki dan bukan perempuan.
Dalam ilmu Fiqih pada dasarnya hanya dikenal dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Selanjutnya dalam ruang gender Fiqih juga dikenal istilah khuntsa atau yang dikenal dengan sebutan hermaprodit yang mengacu pada kondisi tubuh dengan alat kelamin ganda, yaitu alat kelamin laki-laki (penis) dan alat kelamin perempuan (vagina). Menyiasati kondisi seperti itu, Fiqih memberikan solusi untuk menghukumi salah satu identitas seksual yang  cenderung menonjol, tidak bisa laki-laki atau perempuan sekaligus. Selain khuntsa, Fiqih juga mengenal istilah mukhannats atau mukhannits. Pak Yasir dalam bukunya menyebutkan bahwa mukhannats merupakan seseorang yang anatomi tubuhnya terkondisi sebagai laki-laki dan beratribut perempuan namun tidak sampai berkeinginan untuk mengganti alat kelaminnya. Sementara mukhannits disebutkannya sebagai seseorang yang anatomi tubuhnya terkondisi sebagai laki-laki dan beratribut perempuan serta berkeinginan untuk mengganti alat kelaminnya. Sungguh, mereka yang DILARANG “sebagai waria” adalah laki-laki yang berpura-pura menjadi waria agar bisa mengetahui seluk-beluk perempuan! Bukan seorang laki-laki yang merupakan “ghairi li al-irbati min ar-rijaali”.
Hati saya bergetar. Saya menggigit bibir saya sendiri. Jadi tidak tepatlah saya selama ini yang mengatakan bahwa pondok pesantren waria adalah pondok pesantren yang tidak pantas untuk didirikan. Sejak saat itulah saya memahami waria di lisan, di hati, dan di pikiran dengan penuh perasaan dan jiwa kemanusiaan saya. Demi bumi dan seisinya, saya tersentuh dengan perjuangan mereka kaum transgender untuk mendapatkan hak keberagamaannya. Benar kata Mbak Shuniyy, Mbak YS, mereka manusia biasa tidak berhak sama sekali untuk menuhani kita.
Kata Mbak Shuniyya : Aku nggak bisa menerima perlakuan mereka. Aku merasa diriku nggak dimanusiakan, harga kemanusiaanku diluluhlantakkan. Apa dosaku pada mereka? Benarkah Tuhan, yang nama-Nya sering mereka gunakan dalih itu, berbuat sedemikian jahat? Benarkah Tuhan mengizinkan mereka jadi diktator biadab?
Saya beruntung masih menjumpai sosok almarhumah Bu Maryani semasa hidupnya, yang tidak pernah menarik biaya sepersenpun kepada para santrinya di pondok pesantren, yang rutin memberikan sedekah kepada fakir-miskin dan para tetangga, yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan orang banyak, yang menerima pemakaman waria yang ditolak oleh sanak-kerabatnya, yang menikahkan kerabatnya sebagai ganti dirinya yang tidak bisa menikah, yang mengangkat seorang anak dan membiayai hidupnya, yang membiayai transportasi-akomodasi-konsumsi setiap kegiatan pondok pesantren waria, yang mereka bilang almarhumah tidak ingin kaya! Berulang kali almarhumah mengatakan kepada saya bahwa dirinya hidup di dunia ini semata-mata mencari bekal untuk dirinya ketika meninggal nanti. Dirinya tidak membutuhkan harta benda duniawi semasa hidupnya. Baginya adalah kebahagiaan ketika kekurangan namun bisa berbagi terhadap sesama!

Rest in peace almarhumah Bu Maryani, pengelola Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta.

IKA BILANG SAYA HARUS BUAT BLOG


Setelah disarankan oleh Ika Sulistiana teman saya untuk membuat blog (dan menekuninya sebagai sarana untuk menulis) maka saya membuatnya. Terima kasih, Ika. Seperti katamu, dengan di-blog maka tulisanku bisa dicari dengan mudah. ^_^

TIDURLAH UNTUK BERMIMPI



Bermimpi itu mudah. Tidurlah, maka mimpi itu akan datang.
Tapi tidak dengan impian. Ia tidak akan datang sekalipun tidurmu nyenyak 8 jam lebih per hari. Mengapa? Karena impian bukan terlahir dari tidurmu, tapi dari doamu. Impian juga bukan sekedar mimpi. Impian adalah hajat dan perjuangan terbesar dalam hidup. Impian mendatangkan lelah, menyebabkan amarah, meneteskan keringat, mengalirkan air mata, bahkan  sesekali membuatmu jatuh sakit. Tapi biarkan impianmu itu tetap menggantung di kaki langit.  Jikapun ada beberapa yang mengejekmu, mencibirmu, atau mengecilkan hatimu,  jangan surutkan semangatmu, namun kobarkan langkahmu, dan buktikan pada mereka dan dunia bahwa impianmu itu ada, impianmu itu nyata! Selamat mencari dan mewujudkan impian kalian masing-masing, teman-temanku!
The world is ours.

Semarang, 18 Maret 2013

ALLAH AKU, ALLAH AKU


Allah aku mengenali-Mu lewat jiwa
Lewat nada-nada indah dalam panggilan tenang yang mengingatku pada-Mu
Allah aku menyukai-Mu
Menyukai kata-kata-Mu
Menyukai cara-Mu menyayangi umat-Mu
Allah peluk aku
Rengkuh aku
Oleh-Mu aku diciptakan dan kepada-Mu aku kembali pulang
Maka hanya Kau-lah yang mampu mengerti segala sesuatu yang sedang aku pikirkan dan aku rasakan
Dan hanya Kau-lah yang bisa membantu dan menolongku dalam segala kesulitan

Semarang. 12 Juni 2013 6.30 pm

KETIKA IYA HARUS TIDAK



Bertahun-tahun saya harus berkata “ya” ketika saya ingin berkata “tidak”.
Bertahun-tahun saya harus berkata “tidak” ketika saya ingin berkata “ya”.
Bertahun-tahun saya harus menganggukkan kepala ketika saya ingin menggelengkan kepala.
Bertahun-tahun saya harus menggelengkan kepala ketika saya ingin menganggukkan kepala.
Bertahun-tahun saya harus tersenyum ketika saya ingin menangis.
Bertahun-tahun pula saya harus pura-pura menangis ketika sebetulnya ingin tersenyum.

Bertahun-tahun saya dalam ketidakjujuran.
Saya punya alasan mengapa tetap mempertahankan ketidakjujuran saya.
Kejujuran saya hanya akan menjadi pedang bagi diri saya sendiri. Saya jujur atau tidak, saya akan tetap berada di nasib yang sama, lingkaran yang sama, peraturan yang sama, ideologi yang sama, kebiasaan yang sama, dan aktivitas yang sama. Bertahun-tahun pula saya terpaksa untuk menjadi sama.
Sungguh, bertahun-tahun yang melelahkan, menjenuhkan, dan menyakitkan.

Iya, menyakitkan.