“KAMU MONSTER!”, serumu
padaku kala itu. Bibirku tak kugerakkan. Seperti ada lem super bak Castol, UHU,
lem kayu, hingga lem sepatu. Iya. Mengesol bibir jontorku. Ingin rasanya aku
jitak kepalamu. Cantik-cantik begini kok dibilang monster. Belum pernah melihat
Nyai Roro Kidul-kah? Cantik dia.
“Terkadang kamu itu seperti anjing yang setia
kepada majikannya. Tapi sekarang kamu speerti singa. Nih, tak kasih daging!”,
lanjutmu menyeringai di balik wajahmu yang tertekuk-tekuk alias mekso.
Kugigit dagingnya. Habis ya?
“Dasar serakah.”
“Ghhhoooooeeeeeeekkkk....” Aku bersendawa. Enak
sekali.
“Mau berubah jadi apa lagi kamu?”, katam.
Glek.
Krek.
Kretek.. Kretek..
“Aku mau
jadi abu, biar bisa terhempas angin ketika tidak ada yang memanfaatkan aku”.
“Jangan jadi abu! Abu itu panas.” Ah, kamu
masih peduli.
“Kalau begitu, aku ingin menjadi debu saja.
Biar kecil, biar aku kecil, mudah terbang terbawa oleh asap yang membumbung
tinggi ke angkasa.”
“Jangan jadi debu. Kotor!” Dan kamu masih
peduli.
“Jika begitu, aku ingin menjadi udara. Biar
bisa dirasakan, tapi tak bisa disaksikan.”
Gunungpati, Risa Kost, 3 Juni
2012