Rabu, 12 November 2014

SEBUT SAJA DIA LINTANG

Sebut saja namanya Lintang. Iya, Lintang. Salah satu siswa saya yang memberikan inspirasi bagi saya untuk selalu bersyukur pada Allah terhadap apa yang telah diberikan untuk saya.
Lintang yang baru duduk di bangku kelas X merupakan seorang remaja yang terlahir dari keluarga tidak mampu. Bapaknya buruh serabutan. Ibunya di rumah mengurus dua orang adiknya.

Rumah Lintang? Rumah saya memang tidak bagus. Tapi itu membuat saya jauh-jauh bersyukur jika mengingat rumah Lintang. Rumah Lintang tidak lebih dari sebuah rumah kayu dengan ruang tiga petak. Tanpa kamar mandi dan kloset. Tanpa air bersih. Iya, selama ini keluarga Lintang mengandalkan air irigasi untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika saya tanya buang air dimana, ayah Lintang menjawab cukup buang air di kebun belakang rumahnya. Padahal, itu kebun milik orang lain. Ini menimbulkan rasa iba dari saya karena adik Lintang masih kecil-kecil dan butuh lingkungan yang sehat untuk pertumbuhan-perkembangan mereka. Mereka kekurangan akses untuk mendapatkan air bersih. Iya, Lintang jarang mandi ketika berangkat ke sekolah. Sekarang saya sudah mendapatkan jawabannya, mengapa Lintang tampak lesu dan tidak segar ketika berangkat ke sekolah.

Dengan listrik terbatas.
Saya memang belum memasang listrik sendiri, tetapi menumpang milik simbah saya. Namun begitu, orang tua saya masih sanggup membayar tagihan bulanan listriknya. Sedangkan bagi Lintang dan keluarganya tidak. Karena tidak memiliki cukup penghasilan, ayah Lintang memutuskan hanya memasang –kalau tidak salah—dua bola lampu di rumahnya. Tentu, tidak ada televisi, radio, apalagi magic jar – magic com dan alat elektronik lainnya, termasuk setrika. Iya, Lintang selalu berangkat ke sekolah dengan seragam yang lusuh.

Lintang sering tidak membawa uang saku ketika sekolah. Ini adalah kontrak yang Lintang terima dari ayahnya. Ayahnya mengiyakan dirinya melanjutkan sekolah, tetapi kontrak pertamanya mengharuskan Lintang berbesar hati ketika harus berangkat ke sekolah tanpa uang saku.

Wajah Lintang bagi saya cukup menggambarkan betapa kerasnya hidup baginya dan keluarganya. Saya kurang mampu, tetapi saya masih bisa menikmati siaran televisi (meskipun sekarang televisinya sudah rusak). Saya kurang mampu, tetapi saya bisa makan teratur, tinggal dengan rumah yang memiliki MCK meskipun tidak bagus, mendapatkan air-listrik cukup, tidur di kasur, dan setidaknya saya sudah merasakan belajar di perguruan tinggi. Ini yang membuat saya bersyuku terhadap apa yang telah Allah berikan kepada saya dibalik kekurangan yang tampak dalam hidup saya.
Saya masih lebih beruntung dibandingkan Lintang.


Semoga suatu hari nanti, Lintang bisa menjadi insan yang memberikan cahaya bagi orang-orang di sekelilingnya.