Sebut saja namanya Lintang. Iya, Lintang. Salah satu
siswa saya yang memberikan inspirasi bagi saya untuk selalu bersyukur pada
Allah terhadap apa yang telah diberikan untuk saya.
Lintang yang baru duduk di bangku kelas X merupakan
seorang remaja yang terlahir dari keluarga tidak mampu. Bapaknya buruh
serabutan. Ibunya di rumah mengurus dua orang adiknya.
Rumah Lintang? Rumah saya memang tidak bagus. Tapi
itu membuat saya jauh-jauh bersyukur jika mengingat rumah Lintang. Rumah
Lintang tidak lebih dari sebuah rumah kayu dengan ruang tiga petak. Tanpa kamar
mandi dan kloset. Tanpa air bersih. Iya, selama ini keluarga Lintang
mengandalkan air irigasi untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika saya tanya buang
air dimana, ayah Lintang menjawab cukup buang air di kebun belakang rumahnya.
Padahal, itu kebun milik orang lain. Ini menimbulkan rasa iba dari saya karena
adik Lintang masih kecil-kecil dan butuh lingkungan yang sehat untuk
pertumbuhan-perkembangan mereka. Mereka kekurangan akses untuk mendapatkan air
bersih. Iya, Lintang jarang mandi ketika berangkat ke sekolah. Sekarang saya
sudah mendapatkan jawabannya, mengapa Lintang tampak lesu dan tidak segar
ketika berangkat ke sekolah.
Dengan listrik terbatas.
Saya memang belum memasang listrik sendiri, tetapi
menumpang milik simbah saya. Namun begitu, orang tua saya masih sanggup
membayar tagihan bulanan listriknya. Sedangkan bagi Lintang dan keluarganya
tidak. Karena tidak memiliki cukup penghasilan, ayah Lintang memutuskan hanya
memasang –kalau tidak salah—dua bola lampu di rumahnya. Tentu, tidak ada
televisi, radio, apalagi magic jar – magic com dan alat elektronik lainnya,
termasuk setrika. Iya, Lintang selalu berangkat ke sekolah dengan seragam yang
lusuh.
Lintang sering tidak membawa uang saku ketika
sekolah. Ini adalah kontrak yang Lintang terima dari ayahnya. Ayahnya
mengiyakan dirinya melanjutkan sekolah, tetapi kontrak pertamanya mengharuskan
Lintang berbesar hati ketika harus berangkat ke sekolah tanpa uang saku.
Wajah Lintang bagi saya cukup menggambarkan betapa
kerasnya hidup baginya dan keluarganya. Saya kurang mampu, tetapi saya masih
bisa menikmati siaran televisi (meskipun sekarang televisinya sudah rusak).
Saya kurang mampu, tetapi saya bisa makan teratur, tinggal dengan rumah yang
memiliki MCK meskipun tidak bagus, mendapatkan air-listrik cukup, tidur di
kasur, dan setidaknya saya sudah merasakan belajar di perguruan tinggi. Ini
yang membuat saya bersyuku terhadap apa yang telah Allah berikan kepada saya
dibalik kekurangan yang tampak dalam hidup saya.
Saya masih lebih beruntung dibandingkan Lintang.
Semoga suatu hari nanti, Lintang bisa menjadi insan
yang memberikan cahaya bagi orang-orang di sekelilingnya.